Kamis, 28 Februari 2013

Sejarah Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

Hukum Islam di Indonesia Zaman Kolonial


Menyangkut sejarah masuk hukum Islam di Indonesia tentunya berkaitan erat dengan masuknya adanya Islam di Nusantara. Para ahli sejarah belum sependapat mengenai kapan Islam masuk Indonesia yakni pada abad ke-1 Hijriah (7 Masehi), dan ada yang berpendapat pada abad 7 (13 Masehi). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa agama Islam telah terlebih dahulu berkembang dan dilakukan di Nusantara ketimbang kolonial Belanda menginjakkan kakinya di bumi Nusantara. Dalam perkembangan sejarah Indonesia tercatat bahwa pada abad keenam belas (1596 Masehi) organisasi perusahaan dagang Belanda yang dikenal dengan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie = Gabungan Perusahaan Dagang Belanda Hindia Timur) merapat di pelabuhan Banten Jawa Barat, semula maksudnya hanya untuk berdagang, namun perkembangan lebih lanjut tujuan tersebut berubah haluan yaitu ingin menguasai kepulauan Indonesia, sehingga VOC mempunyai dua fungsi, sebagai pedagang dan sebagai badan pemerintahan.
Dalam rangka melaksanakan fungsi tersebut, maka VOC mempergunakan hukum Belanda untuk daerah-daerah yang telah dikuasainya, dan tentunya secara berangsur-angsur VOC juga membentuk badan-badan peradilan. Walaupun badan-badan peradilan sudah dibentuk tentunya tidak dapat berfungsi efektif, sebab ketika hukum yang dibawa oleh VOC tersebut tidak sesuai dengan hukum yang hidup dan diikuti oleh masyarakat. Hal ini patut terjadi, sebab dalam statute Jakarta 1642 disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari.
Ditinjau dari sejarah hukum Hindia Belanda, kedudukan Hukum Islam dapat dibagi dalam dua preode; yaitu periode Teori Receptio in Complex dan periode Teori Receptei. Teori reception in complex adalah teori penerimaan Hukum Islam, sepenuhnya bagi orang-orang yang beragama Islam karena mereka telah memeluk agama Islam meskipun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. Teori ini dipelopori oleh LWC Van Den Berg. Apresiasi pemerintah Hindia Belanda pada teori ini hanya terdapat dalam hukum kekeluargaan Islam, yakni hukum perkawinan dan hukum kewarisan, yaitu dengan adanya Compidium Frejer yang disahkan dengan peraturan Resulutie der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760. Sedangkan teori Receptie adalah teori penerimaan Hukum Islam oleh Hukum Adat, yakni Hukum Islam baru berlaku bila dikehendaki atau diterima oleh Hukum Adat. Yang dipelopori oleh C.Snouck Hurgronje berdasarkan penelitiannya di Aceh dan tanah Gayo. Teori ini merupakan reaksi menentang teori Van Den Berg yang manifestasinya terlihat dalam IS (indische Staatsregeling) tahun 1929 Pasal 134 ayat (2) yang berbunyi: ”dalam hal terjadi masalah perdata antar sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh Hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinaya”. 
Secara pelahan dan sistematis pemerintah kolonial Belanda mencoba untuk menghilangkan pengaruh hukum Islam dalam lingkungan peradilan yang ada, sebab dengan pertukaran agama penduduk menjadi Kristen akan menguntungkan negeri Belanda karena penduduk pribumi yang mengetahui eratnya hubungan agama dengan pemerintahannya. Namun demikian usaha tersebut tidak berhasil, bahkan lebih lanjut Mr. Scholten van Oud Haarlem menulis sebuah nota kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap bumiputera sebagai pencegahan terhadap perlawanan yang akan terjadi, maka diberlakukan pasal 75 RR (Regeering Reglement) suatu peraturan yang menjadi dasar bagi pemerintah Belanda untuk menjalankan kekuasaannya di Indonesia, S. 1855: 2 memberikan instruksi kepada pengadilan agar tetap mempergunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan itu sejauh tidak bertentangan dengan kepatutan dan keadilan yang diakui umum.
Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan wakaf. Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas. Pada tahun 1937, wewenang Pengadilan Agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan. 
Pada masa pendudukan Jepang, semua peraturan perundang-undangan yang ada pada zaman kolonial Belanda dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Pemerintahan Dai Nippon.

Hukum Waris Islam Pascakemerdekaan


Dengan dikumandagkannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka seluruh sistem hukum yang ada semuanya berdasarkan kepada sistem hukum Nasional, sebab pada tanggal 18 Agustus telah ditetapkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar negara. Menurut Hazairin, sejak diproklamasikan kemerdekaan Repubik Indonesia, hukum agama yang diyakini oleh pemeluknya memperoleh legalitas secara konstitusional yuridis, hal ini didasarkan atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kemudian lebih lanjut dijabarkan di dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 29. Perumusan dasar Negara lebih lanjut, yang dilakukan oleh wakil rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955, muncul tiga usul tentang dasar Negara : Pancasila, Islam dan Sosialis Ekonomi. Namun Dalam lembaga legislatif yang dikenal de-Konstituante itu tidak berhasil memutuskan dasar Negara hingga kemudian keluar Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada UUD 1945 termasuk di dalamnya dasar negara Pancasila.  
Sebelumya pada zaman kolonial Belanda, hukum Islam dipandang sebagai bagian dari sistem hukum adat (terutama sekali masalah hukum perkawinan), selain itu dalam hal kewarisan masyarakat sering mempergunakan hukum adat, oleh karena itu persoalan kewarisan dimasukkan ke dalam kekuasaan Pengadilan Negeri dan diadili berdasarkan hukum adat (pada waktu itu, bahkan sampai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI tahun 1989 Nomor 49, keputusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum apabila keputusan ini telah diperkuat oleh Pengadilan Negeri).
Namun akhirnya teori resepsi ini dihapus berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor 11 tanggal 3 Desember 1960. Sementara itu Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (sekarang disebut BPHN) dalam suatu keputusannya yang dikeluarkan pada tanggal 28 Mei 1962 mengenai hukum kekeluargaan telah pula menetapkan asas-asas hukum kekeluargaan Indonesia, yang mana dalam pasal 12 ditetapkan sebagai berikut;
a. Di seluruh Indonesia hanya berlaku satu sistem kekeluargaan yaitu sistem parental, yang diatur dengan undang-undang, dengan menyesuaikan sistem-sistem lain yang terdapat dalam hukum adat kepada sistem parental.
b. Hukum waris untuk seluruh rakyat diatur secara bilateral individual, dengan kemungkinan adanya variasi dalam sistem bilateral tersebut untuk kepentingan golongan Islam yang memerlukannya.
c. Sistem keutamaan dan sistem penggantian dalam hukum waris pada prinsipnya sama untuk seluruh Indonesia, dengan sedikit perubahan bagi hukum waris Islam.
d. Hukum adat dan yurisprudensi dalam bidang hukum kekeluargaan diakui sebagai hukum pelengkap di sisi hukum perundang-undangan. 
Sampai tidak berlakunya lagi Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960 pada 27 Maret 1968 tidak satupun undang-undang muncul di bidang hukum perkawinan dan hukum kewarisan walaupun oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah disiapkan RUU Peraturan Pelengkap Pencatatan Perkawinan, RUU Hukum Perkawinan, RUU Hukum Waris. Sebaliknya di bidang yurisprudensi dengan keputusan-keputusan Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah diciptakan beberapa keputusan dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Di sini terlihat di bidang hukum waris, nasional yang bilateral lebih mendekati hukum Islam dari pada hukum adat.

Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam


Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia sebagai badan penentu haluan negara, badan pengarah kehidupan negara dan masyarakat Indonesia di masa lalu (1960) itu, pernah memberikan pengarahan soal hukum kewarisan di Indonesia. Dalam lampiran ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960 tanggal 3 Desember 1960 pada penjelasan lampiran A dengan penegasan dibawah No.38 bahwa mengenai huruf c. 2 dan 4 dalam penyempurnaan undang-undang hukum perkawinan dan hukum waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat dan lain-lainnya.
Dalam membicarakan ketetapan MPRS dan lampiran A-nya tersebut Hazairin menyimpulkan pendapatnya bahwa MPRS menuntut agar kewarisan di Indonesia diatur secara parental (patrilinial) yang sesuai dengan kehendak Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Begitupun adat dan lain-lain yang perlu diperhatikan itu adalah yang sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan disini sejauh mengenai hukum kewarisan Islam. 
Pada tanggal 21 Maret 1984 Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang isinya membentuk sebuah panitia untuk mengumpulkan bahan-bahan dan merancang Kompilasi Hukum Islammenyangkut hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan yang selanjutnya akan dipergunakan oleh Pengadilan Agama dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, panitia ini menggunakan empat jalur, yaitu:
1. Pengkajian kitab-kitab fiqih dengan bantuan beberapa tenaga pengajar Fakultas Syariah IAIN seluruh Indonesia
2. Menghimpun pendapat ulama fiqih terkemuka di tanah air
3. Menghimpun yurisprudensi yang terhimpun dalam putusan-putusan Pengadilan Agama seluruh Indonesia sejak penjajahan Belanda sampai dengan kompilasi tersusun.
4. Mengadakan studi perbandingan menyangkut pelaksanaan dan penegakan hukum Islam di Negara-negara muslim, terutama sekali Negara-negara tetangga yang penduduknya beragama Islam.
5. Konsep KHI hasil tim tersebut kemudian dibahas oleh para ulama dan cendekiawan muslim loka karya yang diadakan pada tanggal 2-5 Pebruari 1988 di Jakarta.  
Hasil Loka karya tersebut kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Presiden untuk memperoleh bentuk yuridis dalam pelaksanaannya. Kemudian pada tanggal 10 Juni 1991 keluarlah Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991, yang memuat instruksi kepada Menteri Agama untuk menyebarkan KHI . kemudian pada tanggal 22 Juli 1991 Menteri Agama mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991 yang menyerukan kepad seluruh instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan KHI tersebut, dan sedapat mungkin menerapkannya di samping peraturan perundang-undangan lainnya.
Kompilasi Hukum Islam terbagi atas tiga buku, dan masing-masing buku dibagi ke dalam beberapa bab dan pasal, khusus bidang Kewarisan diletakkan dalam buku II dengan judul Hukum Kewarisan, yang terdiri dari 6 bab dengan 214 pasal dengan perincian sebagai berikut:
Bab I : Ketentuan umum, 
Bab II : Ahli waris (pasal 172 sampai dengan pasal 175)
Bab III : Besarnya bagian (pasal 176 sampai dengan pasal 191)
Bab IV : Aul dan Raad (pasal 192 sampai dengan pasal 193)
Bab V : Wasiat (pasal 194 sampai dengan pasal 209)
Bab VI : Hibah (pasal 210 sampai dengan pasal 214) 

Hukum Waris Islam dalam Kewarisan Nasional


Hukum waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum merupakan unifikasi hukum. Atas dasar peta hukum waris yang masih demikian plurailistiknya, akibatnya sampai sekarang ini pengaturan masalah warisan di Indonesia masih belum terdapat keseragaman. Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum. 
Setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan.Berkaitan erat dengan berbagai keinginan umat Islam dewasa ini yang bukan saja tentang pengharapan pengembangan ide-ide pembaharuan hukum waris Islam tetapi juga keinginan agar hukum Islam dapat mewakili menjadi hukum waris nasional, setidaknya bukan hanya sekedar dipertimbangkan, tetapi pula dijadikan kerangka acuan yang terbaik dan kongkrit mewujudkan keadilan universal.
Di sisi lain, dalam hal tertentu dikalangan intern ummat Islam sendiri mengenai hukum kewarisan masih menjadi persoalan dan menjadi polemik yang berkepanjangan. Berbagai kritik dan ide pembaharuan merupakan fakta sosial aspirasi sebagian ummat Islam Indonesia. Baik ide Hazairin, Munawir Sjadzili ataupun lebih jauh berbagai tanggapan dan ijtihad di kalangan ulama sepanjang sejarah sejak masa sahabat yang secara kronologis diwarisi oleh para pengikut pemikiran mereka masing-masing.
Sebagian masyarakat Indonesia beragama Islam, hukum adat yang ada sudah dianggap mengakar menyulitkan menjadikan hukum waris Islam sebagai alternatif yang mana mana hukum adat terlahir karena adanya hubungan-hubungan hidup bersama dalam masyarakat yang secara sosiologis telah lama melembaga. Menurut Sukris Sarmadi dengan dijadikannya hukum adat sebagai realitas salah satu sumber dalam pembinaan hukum Nasional sebagaimana pula dengan hukum Islam, yang mana dianggap representatif sebagai preseden-preseden bagi hukum Nasional, dan dirancan serta diberlakukannya dua hukum itu dengan cara “tambal sulam” sebagai kebijakan Nasional, barangkali akan dianggap telah melenyapkan hukum kewarisan Islam karena hukum Islam mengenai kewarisan selama ini dipahami sebagai ajaran yang mutlak dengan cirri-ciri keadilan yang trasedental. Ditambahkan bahwa masyarakat yang beragama Islam walaupun dengan berlatar sosial budaya yang sebelumnya jauh berbeda dengan prinsip-prinsip Islam seperti masyarakat patrilinial, matrilineal ataupun bilateral tertentu dengan keberadaan sistem hukum adatnya yang mempengaruhinya, maka sangat sulit untuk diterapkan suatu unifikasi hukum dalam suatu kodifikasi yang bersifat nasional.  
 

Selasa, 26 Februari 2013

Tinjauan Umum Perjanjian

Pengertian Perjanjian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.” Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas. Tidak lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup hal-hal yang mengenai janji kawin, yaitu perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga, tetapi, bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan-ketentuan tersendiri sehingga Buku III KUH Perdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya. Juga mencakup perbuatan melawan hukum, sedangkan di dalam perbuatan melawan hukum ini tidak ada unsur persetujuan.

R. Subekti mengemukakan perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.” Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.


Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat beberapa unsur-unsur yang tercantum dalam kontrak, yaitu :

1. Adanya hubungan hukum
Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.

2. Adanya subjek hukum
Subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban. Subyek dalam hukum perjanjian termasuk subyek hukum yang diatur dalam KUH Perdata, Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Perdata mengkualifikasikan subjek hukum terdiri dari dua bagian yaitu manusia dan badan hukum. Sehingga yang membentuk perjanjian menurut Hukum Perdata bukan hanya manusia secara individual ataupun kolektif, tetapi juga badan hukum atau rechtperson, misalnya Yayasan, Koperasi dan Perseroan Terbatas.

3. Adanya prestasi
Prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata terdiri atas untuk memberi sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat sesuatu.

4. Di bidang harta kekayaan 
Pada umumnya kesepakatan yang telah dicapai antara dua atau lebih pelaku bisnis dituangkan dalam suatu bentuk tertulis dan kemudian ditanda tangani oleh para pihak. Dokumen tersebut disebut sebagai “Kontrak Bisnis” atau “Kontrak Dagang”.


Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengemukakan empat syarat,yaitu :
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
3. Adanya suatu hal tertentu
4. Adanya sebab yang halal.
Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir merupakan syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian. 

Keempat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Syarat pertama dari sahnya suatu perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak. Kesepakatan adalah “persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.”12 Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Pernyataan secara diam-diam sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari kita. Misalnya, seorang penumpang yang naik angkutan umum, dengan membayar ongkos angkutan kepada kondektur kemudian pihak kondektur menerima uang tersebut dan berkewajiban mengantar penumpang sampai ke tempat tujuannya dengan aman. Dalam hal ini, telah terjadi perjanjian walaupun tidak dinyatakan secara tegas. Persetujuan tersebut harus bebas, tidak ada paksaan. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk terjadinya perjanjian yang sah. Dianggap perjanjian tersebut tidak sah apabila terjadi karena paksaan, kekhilafan atau penipuan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang menyatakan jika di dalam perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat kehendak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Cacat kehendak artinya “bahwa salah satu pihak sebenarnya tidak menghendaki isi perjanjian yang demikian. Seseorang dikatakan telah membuat kontrak secara khilaf manakala dia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang ternyata tidak benar 

2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
Menurut 1329 KUH Perdata kedua belah pihak harus cakap menurut hukum. Kecakapan bertindak adalah kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Dimana perbuatan hukum ialah perbuatan yang menimbulkan akibat hukum.
Ada beberapa golongan oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap yaitu:

  • Orang yang belum dewasa Menurut Pasal 330 KUH Perdata, belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap 21 tahun maka tidak berarti mereka kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.
  • Orang yang ditaruh di bawah pengampuan Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Seseorang yang berada di bawah pengawasan pengampuan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Jika seorang anak yang belum dewasa harus diwakili orang tua atau walinya maka seorang dewasa yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dalam pasal 433 KUH Perdata, disebutkan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap, harus di bawah pengampuan jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seseorang yang telah dewasa dapat juga berada di bawah pengampuan karena keborosannya.
  • Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sesuai dengan pasal 31 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo.SEMA No.3 Tahun 1963.
3. Adanya suatu hal tertentu
Suatu hal dapat diartikan sebagai objek dari perjanjian. Yang diperjanjikan haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok-pokok perjanjian. Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan
bahwa suatu persetujuan itu harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu asal barang kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

4. Adanya sebab yang halal
Di dalam Undang-undang tidak disebutkan pengertian mengenai sebab (orzaak,causa). Yang dimaksud dengan sebab bukanlah sesuatu yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian, karena alasan yang menyebabkan para pihak untuk membuat perjanjian itu tidak menjadi perhatian umum. Adapun sebab yang tidak diperbolehkan ialah jika isi perjanjian bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dari uraian di atas, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka salah satu pihak dapat meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, namun, apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Sementara itu, apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.

Keempat syarat tersebut haruslah dipenuhi oleh para pihak dan apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut telah terpenuhi, maka menunit Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum sama dengan kekuatan suatu Undang-undang.

Jenis-jenis Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajibanpokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.

b. Perjanjian Cuma-cuma
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah.

c. Perjanjian Atas Beban
Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian dimana prestasi dari pihak yang satu merupakan kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

d. Perjanjian Bernama (Benoemd)
Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian ini diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata.

e. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd Overeenkomst)
Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd) adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur dalani KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Perjanjian ini seperti perjanjian pemasaran, perjanjian kerja sama. Di dalam praktekmya, perjanjian ini lahir adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak mengadakan
perjanjian.

f. Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian di mana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).

g. Perjanjian Kebendaan
Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain.

h. Perjanjian Konsensual
Perjanjian Konsensual adalah perjanjian dimana di antara kedua belah pihak tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.

i. Perjanjian Riil
Di dalam KUH Perdata ada juga perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Perjanjian ini dinamakan perjanjian riil. Misalnya perjanjian penitipan barang, pinjam pakai.

j. Perjanjian Liberatoir
Perjanjian Liberatoir adalah perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. Misalnya perjanjian pembebasan hutang.

k. Perjanjian Pembuktian
Perjanjian Pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.

l. Perjanjian Untung-untungan 
Perjanjian Untung-untungan adalah perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian. Misalnya perjanjian asuransi.

m. Perjanjian Publik
Perjanjian Publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah Pemerintah dan pihak lainnya adalah swasta. Misalnya perjanjian ikatan dinas dan pengadaan barang pemerintahan.

n. Perjanjian Campuran
Perjanjian Campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian. Misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tetapi menyajikan pula makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. 

Dari jenis-jenis perjanjian di atas, dapat dilihat bahwa perjanjian waralaba termasuk jenis perjanjian tidak bernama atau onbenoemde overeenkomst. Dalam Kamus Hukum, onbenoemde overeenkomst adalah “perjanjian atau persetujuan yang tidak mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu
nama.”

Berakhirnya Perjanjian
Dalam Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan tentang cara berakhimya suatu perikatan, yaitu : “Perikatan-perikatan hapus karena :
a. pembayaran;
b. karena penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
c. karena pembaharuan hutang;
d. karena perjumpaan hutang atau kompensasi;
e. karena percampuran hutang;
f. karena pembebasan hutangnya;
g. karena musnahnya barang yang terhutang;
h. karena kebatalan atau pembatalan;
i. karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab kesatu buku ini;
j. karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri".

Wanprestasi
Apabila salah seorang debitur tidak memenuhi kewajibannya dalam suatu perjanjian, maka ia dikatakan ingkar janji atau wanprestasi. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua
kemungkinan alasan, yaitu :
1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian.
2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, jadi di luar kemampuan debitur.

Mariam Darus menyebutkan wujud dari tidak memenuhi perikatan (wanprestasi) terbagi tiga yaitu :
1. Debitur sama sekali tidak memenuhi perikatan,
2. Debitur terlambat memenuhi perikatan,
3. Debitur keliru atau tidak pantas memenuhi perikatan. 

Sama halnya dengan Mariam Darus, Abdulkadir Muhammad juga menyatakan adanya tiga keadaan wanprestasi, yaitu:
1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,
2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru. Dalam hal ini, debitur yang memenuhi prestasi tetapi keliru jika ia tidak memperbaiki kekeliruannya maka ia dianggap tidak memenuhi prestasi sama sekali.
3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.

Sementara itu, R. Subekti menyebutkan wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat macam :
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.





Hukum Dagang Indonesia

Pengertian Hukum Dagang

Perdagangan atau Perniagaan pada umumnya adalah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat dan suatu waktu dan menjual barang tersebut di tempat dan waktu lainnya untuk memperoleh keuntungan. Hukum dagang adalah hukum yang mengatur soal-soal perdagangan, yang timbul karena tingkah laku manusia dalam perdagangan. Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan.

Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada :

1) Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
  • Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
  • Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2) Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, 
  yaitu peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 :7).
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.

       Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seiring berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ). Antara KUHperdata dengan KUHdagang mempunyai hubungan yang erat. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 1 KUhdagang, yang isinya sebagai berikut: 

Adagium mengenai hubungan tersebut adalah special derogate legi generali artinya hukum yang khusus: KUHDagang mengesampingkan hukum yang umum: KUHperdata.  

Prof. Subekti berpendapat bahwa terdapatnya KUHD disamping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya. Hali ini dikarenakan hukum dagang relative sama dengan hukum perdata. Selain itu “dagang” bukanlah suatu pengertian dalam hukum melainkan suatu pengertian perekonomian. Pembagian hukum sipil ke dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam hukum romawi belum terkenal peraturanperaturan seperti yang sekarang termuat dalah KUHD, sebab perdagangan antar Negara baru berkembang dalam abad pertengahan.

Bentuk - bentuk dagang
  1. Persekutuan (Maatschap) : suatu bentuk kerjasama dan siatur dalam KUHS tiap anggota persekutuan hanya dapat mengikatkan dirinya sendiri kepada orangoranglain. Dengan lain perkataan ia tidak dapat bertindak dengan mengatas namakan persekutuan kecuali jika ia diberi kuasa. Karena itu persekutuan bukan suatu pribadi hukum atau badan hukum.
  2. Perseroan Firma : suatu bentuk perkumpulan dagang yang peraturannya terdapat dalam KUHD (Ps 16) yang merupakan suatu perusahaan dengan memakai nama bersama. Dalam perseroan firma tiap persero (firma) berhak melakukan pengurusan dan bertindak keluar atas nama perseroan.
  3. Perseroan Komanditer(CV = Comanditaire Vennootschap) (Ps 19 KUHD) : suatu bentuk perusahaan dimana ada sebagian persero yang duduk dalam pimpinan selaku pengurus dan ada sebagian persero yang tidak turut campur dalam kepengurusan (komanditaris/ berdiri dibelakang layar)
  4. Perseroan Terbatas (Ps 36 KUHD) : perusahaan yang modalnya terbagi atas suatu jumlah surat saham atau sero yang lazimnya disediakan untuk orang yang hendak turut. Arti kata Terbatas, ditujukan pada tanggung jawab/ resiko para pesero/ pemegang saham, yang hanya terbatas pada harga surat sero yang mereka ambil. PT harus didirikan dngan suatu akte notaris PT bertindak keluar dengan perantaraan pengurusnya, yang terdiri dari seorang atau beberapa orang direktur yang diangkat oleh rapat pemegang saham. PT adalah suatu badan hukum yang mempunyai kekayaan tersendiri, terlepas dari kekayaan pada pesero atau pengurusnya. Suatu PT oleh undang-undang dinyatakan dalam keadaan likwidasi jika para pemegang saham setuju untuk tidak memperpanjang waktu pendiriannya dan dinyatakan hapus jika PT tesebutmenderita rugi melebihi 75% dari jumlah modalnya.
  5. Koperasi : suatu bentuk kerjasama yang dapat dipakai dalam lapangan perdagangan Diatur diluar KUHD dalam berbagai peraturan : 
         1. Dalam Stb 1933/ 108 yang berlaku untuk semua golongan penduduk. 
         2. Dalam stb 1927/91 yang berlaku khusus untuk bangsa Indonesia 
         3. Dalam UU no. 79 tahun 1958
              - Keanggotaannya bersifat sangat pribadi
              - Berasaskan gotong royong
              - Merupakan badan hukum
              - Didirikan dengan suatu akte dan harus mendapat izin dari menteri Koperasi.
      6. Badan-badan Usaha Milik Negara (UU no 9/ 1969)
  • Berbentuk Persero : tunduk pada KUHD (stb 1847/ 237 Jo PP No. 12/ 1969)
  • Berbentuk Perjan : tunduk pada KUHS/ BW (stb 1927/ 419)
  • Berbentuk Perum : tunduk pada UU no. 19 (Perpu tahun 1960)

Sumber Hukum

Sumber Hukum adalah tempat untuk menemukan atau menggali hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo, penggunaan kata Sumber Hukum dapat berarti sebagai:
  1.     Sebagai Asas Hukum, yaitu sesuatu yang merupakan permulaan hukum;
  2.     Menunjukkan hukum terdahulu yang pernah berlaku;
  3.     Sebagai sumber berlakunya hukum atau yang memberi kekuatan berlaku secara formal;
  4.     Sebagai sumber darimana dapat mengenal hukum;
  5.     Sebagai sumber terjadinya hukum.

Sumber hukum menurut beberapa ahli sebagai berikut :
A. ALGRA
Algra membagi sumber hukum menjadi dua, yaitu:

  1.  Sumber Hukum Materil, adalah tempat dimana hukum materil (materi hukum/isi) diambil yang merupakan faktor penting dalam pembentukan hukum.  Misalnya; kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi, hasil penelitian dan perkembangan dunia internasional.
  2. Sumber Hukum Formil*, adalah tempat atau sumber dimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara bagaimana suatu peraturan hukum formal itu berlaku. Secara umum yang diakui sebagai hukum formil adalah:
Ø   Undang-Undang
Ø   Perjanjian antar negara (Traktat)
Ø   Yurisprudensi
Ø   Kebiasaan (Konvensi)
Ø   Doktrin (Pendapat para ahli)

B. VAN APELDOORN
Membagi empat sumber hukum, yaitu:
1. Sumber Hukum dalam arti Historis
  •       Sumber Hukum yang merupakan tempat dapat ditemukan atau dikenalnya hukum secara historis (Materi Hukum/isi).
  •       Sumber Hukum yang merupakan tempat pembentuk Undang-Undang mengambil bahan (Institusi).

2. Sumber Hukum dalam arti Sosiologis Teleologis
    Merupakan Faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif.
3. Sumber Hukum dalam arti Filosofis
    a. Sumber isi hukum
  •   Pandangan Teokratis (isi hukum itu dari tuhan)
  •  Pandangan Kodrat (isi hukum dari akal manusia)
  •  Isi hukum dari pandangan hukum

    b. Sumber kekuatan mengikat hukum
  • karena sifat hukum memaksa
  • karena alasan kesusilaan
  •  karena alasan kepercayaan

4. Sumber Hukum dalam arti formil
    ialah sumber hukum yang dilihat dari terjadinya hukum positif yang berlaku dan mengikat.

C. ACHMAD SANUSI
1. Sumber Hukum Normal
  •   yang berlaku atas pengakuan Undang-Undang
  •   yang tidak langsung berlaku atas pengakuan Undang-Undang

2. Sumber Hukum Abnormal
  •     Proklamasi
  •   Revolusi
  •   Kudeta (Coup d' Tat)



Keadilan hukum dan Keadilan Sosial akankah Menjauhkan Asas Legalitas dan Kepastian Hukum

Asas Legalitas masih harus dipandang perlu eksistensinya dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, hal ini disebabkan selain adanya suatu kepastian hukum, juga menghindari adanya suatu bentuk kesewenang-wenangan dari aparatur penegak hukum maupun penguasa dalam konteks yang lebih luas. Untuk mempertegas permasalahan di atas yaitu apabila terjadi pertentangan mana yang didahulukan antara kepastian hukum dan keadilan, perlu saya tulis bunyi pasal 12 draft RUU KUHP 2005-2006 yang kurang lebih berbunyi ” Dalam mempertimbangkan hukum yang diterapkan, hukum sejauh mungkin menerapkan keadilan di atas kepastian hukum”. RUU KUHP mungkin kedepan bisa di jadikan guidance (penunjuk) apabila ada dilemma pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal itu haruslah diperhatikan karena sering kali keadilan terdesak, maka apabila keadilan dan kepastian hukum saling mendesak maka hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum. Karena muara akhir dari tujuan hukum adalah keadilan social.

Tujuan hukum adalah keadilan namun konsep keadilan itu tersendiri memiliki beberapa pandangan dari beberapa teoritikus hukum, namun kita harus mengerti bahwa dalam konsep negara hukum apalagi dalam pandangan aliran positifistik dimensi sosiologis hukum menjadi kurang perhatian artinya hubungan bagaimana norma hukum itu bekerja dalam ranah sosial tidak menjadi urusan dan apa konsekuensi sosial dari berlakunya norma hukum juga bukan menjadi point karen itu ranah sosial bukan ranah hukum itu sendiri. yang menjadi masalah adalah pandangan yang kurang memahami hukum dan mengambil dimensi sosial bahkan sosiologi dan antropologi sebagai miskroskop untuk membedah hukum tapi kita sadari labnya hukum adalah masyarakat namun kurang tepat apabila dimensi sosiologi dan antropologi mendasari hukum yang bersifat positif mungkn untuk hukum adat dapat kita terima Keadilan sosial Keadilan hukum berbicara tentang penghukuman pelaku kejahatan. Keadilan sosial berbicara tentang kesejahteraan seluruh rakyat dalam negara merdeka. 
Keadilan yang bisa diperoleh melalui pengadilan formal di mana saja disebut “keadilan hukum.” Keadilan hukum itu cukup sederhana, yaitu apa yang sesuai dengan hukum dianggap adil sedang yang melanggar hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi pelanggaran hukum, maka harus dilakukan pengadilan untuk memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa sehari-hari disebut “kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan pemulihan keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran pidana atau kejahatan tersebut. Dengan demikian, keadilan hukum itu sangat sempit dan memiliki kelemahan. Misalnya, untuk kejahatan-kejahatan berat  jika yang ditegakkan keadilan hukum saja, yang terjadi hanyalah para pelaku di hadapkan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Misalnya orang-orang yang paling bertanggungjawab akan dihukum seumur hidup, pelaksana di lapangan sepuluh tahun, dan sebagainya. Tetapi keadaan para korban akan tetap saja. Orang-orang yang diperkosa tetap dalam penderitaan batin. Mungkin karena menyadari kelemahan tersebut, ada upaya pemikiran dalam keadaan tertentu mempertimbangkan kan “keadilan sosial” sebagai pengganti keadilan hukum. Padangan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa pengadilan internasional itu memakan biaya yang sangat besar.
Pengertian keadilan sosial memang jauh lebih luas daripada keadilan hukum. Keadilan sosial bukan sekadar berbicara tentang keadilan dalam arti tegaknya peraturan perundang-undangan atau hukum, tetapi berbicara lebih luas tentang hak warganegara dalam sebuah negara. Keadilan sosial adalah keadaan dalam mana kekayaan dan sumberdaya suatu negara didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat. Dalam konsep ini terkadung pengertian bahwa pemerintah dibentuk oleh rakyat untuk melayani kebutuhan seluruh rakyat, dan pemerintah yang tidak memenuhi kesejahteraan warganegaranya adalah pemerintah yang gagal dan karena itu tidak adil.
Dari perspektif keadilan sosial, keadilan hukum belum tentu adil. Misalnya menurut hukum setiap orang adalah sama, tetapi jika tidak ada keadilan sosial maka ketentuan ini bisa menimbulkan ketidakadilan. Misalnya, karena asas persamaan setiap warganegara setiap orang mendapatkan pelayanan listrik dengan harga yang sama. Tetapi karena adanya sistem kelas dalam masyarakat, orang kaya yang lebih bisa menikmatinya karena ia punya uang yang cukup untuk membayar, sedangkan orang miskin tidak atau sedikit sekali menikmatinya. Menurut keadilan sosial, setiap orang berhak atas “kebutuhan manusia yang mendasar” tanpa memandang perbedaan “buatan manusia” seperti ekonomi, kelas, ras, etnis, agama, umur, dan sebagainya. Untuk mencapai itu antara lain harus dilakukan penghapusan kemiskinan secara mendasar, pemberantasan butahuruf, pembuatan kebijakan lingkungan yang baik, dan kesamaan kesempatan bagi perkembangan pribadi dan sosial. Inilah tugas yang harus dilaksanakan pemerintah.
Apakah Indonesia memerlukan keadilan hukum atau keadilan sosial. Keadilan hukum, yaitu pengadilan dan penghukuman bagi para pelaku kejahatan di masa pendudukan militer Indonesia diperlukan agar tragedi kekerasan seperti itu tidak terulang lagi. Agar tidak ada orang atau kelompok yang melakukan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Sedang keadilan sosial diperlukan agar para korban khususnya, dan seluruh rakyat umumnya, bisa membangun hidup baru yang tidak hanya tanpa kekerasan tetapi juga tidak kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia maupun kebutuhan lain yang diperlukan untuk meningkatkan Asas legalitas formal dan asas legalitas materiil 
Prinsip “Legality” merupakan konsep dasar, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” – konsep, maupun oleh faham “Rechstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Indonesia dewasa ini masih berpegang teguh dengan asas legalitas, walaupun asas legalitas sering mengabaikan keadilan hukum. Pasal 1 ayat 1 KUHPidana memuat asas (beginsel) yang tercakup dalam rumus (formule) : nullum dellictum, nulla poenasiene lege poenali, yaitu tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahuklu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai delik dan memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu. Pada mulanya saya respek dan sempat kaget terhadap pasal ini karena menurut saya yang baru belajar hukum pidana pasal ini hampir mirip dengan ayat yang pernah saya pelajari di hukum islam yang bertumpu pada ayat ” wa maa kunnaa mu’adzibina hatta nab’atsa rasuula” ” kami (allah) tidak menjatuhkan siksa sebelum kami mengutus seorang rasul” yang kemudian ayat ini melahirkan kaidah fiqhiyyah ” la hukma li af’al al’uqola qobla wurudi al-nash” (tidak ada hukum bagi orang brakal sebelum ada ketentuan nashnya).
Terlepas dari membanding-bandingkan antara asas legalitas yang ada di hukum islam dan KUHP, ada sedikit permasalahan ketika memahami bunyi pasal 1 ayat 1 KUHP : Pertama, Tentang konfrontasi antara kepastian hukum dan keadilan sosial bagi orang atau barang siapa yamg ingin menegakkan atau menjalankan undang-undang pidana, karena pasal 1 ayat 1 merupakan tiang-tiang dari hukum pidana. Pertentangan tersebut terjadi karena pasal 1 ayat 1 menghendaki adanya peraturan sebelum tindakan yang dianggap melanggar hukum itu terjadi hal ini menunjukkan tentang kepastian hukum dan mengesampingkan keadilan, hal itu disebabkan karena proses hukum pidana bermuara pada penjatuhan pidana. Sungguh kiranya hal ini tidak akan mencerminkan nilai-nilai keadilan bagi korban apabila pemidanaan itu saat terpidana tersebut melakukan perbuatan, akan tetapi aturan hukumnya yang mengancam perbuatannya belum ada.
Pasal 1 ayat 1 lebih mementingkan kepastian hukum diatas keeadilan sosial, Jika kita berpegang secara teguh terhadap asas legalitas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP maka pertanyaan ini tak akan muncul, karena konsekuensinya sudah jelas, yaitu terhadap perbuatan yang demikian tak akan ada hukumannya dan pelakunya bebas dari jerat hukum. Pertanyaan ini menjadi lebih tajam jika dikaitkan dengan persoalan keadilan bagi para korban kejahatan, apakah hukum akan mengabaikan salah satu fungsinya dengan membiarkan ketidakadilan bagi para korban dengan menguntungkan pelaku kejahatan. Perlu diingat hal itu akan mencederai keadilan hukum yang ada di masyarakat khususnya hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law).
Sejarah dan perkembangan asas legalitas
Memaknai Asas Legalitas memang tercantum di dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Kalau redaksionalitas kata-katanya asli dalam bahasa Belanda disalin ke dalam bahasa Indonesia, makan berbunyi : ”Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”. Perlu pula untuk menjadi perhatian bahwa menurut Moeljatno istilah feit itu juga diartikan dengan kata ”peristiwa”, karena dengan istilah feit itu mengandung suatu pengertian sebagai perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hukum pidana maupun perbuatan yang mengabaikan sesuatu yang diharuskan. Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Berlakunya Hukum Pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Hazewinkel- Suringa berpendapat, jika suatu perbuatan (feit) yang memenuhi rumusan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan saja hal itu tidak dapat dituntut tetapi untuk orang yang bersangkutan sama sekali tidak dapat dipidana, itulah legalitas yang mengikat perbuatan yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang. Makna Asas Legalitas yang tercantum di alam Pasal 1 ayat (1) KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakai istilah Latin: ”Nullum crimen sine lege stricta, yang dapat diartikan dengan: ”Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”. Hazewinkel-Suringa memakai kata-kata dalam bahasa Belanda ”Geen delict, geen straf zonder een voorfgaande strafbepaling” untuk rumusan yang pertama dan ”Geen delict zonder een precieze wettelijke bepaling” untuk rumusan kedua. Paul Johann Aslem von Feuerbech (1775-1833), seorang pakar hukum pidana Jerman di dalam bukunya : ”Lehrbuch des peinlichen Rechts” pada tahun 1801 mengemukakan ajaran klasik pada permulaan abad ke sembilan belas (Beccaria). Adagium dari von Feuerbach itu dapat dialirkan menjadi tiga asas seperti yang dirumuskan oleh W.A. van der Donk, yaitu nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine, nullum crimen sine poena legali. Ternyata pengapilkasian adaqium ini memiliki berbagai pandangan tentang ”nulla poena sine lege”, bahwa di dalam dasar yang sama itu disatu pihak lebih menitik beratkan kepada asas politik agar rakyat mendapat jaminan pemerintah tidak sewenang-wenang (Monstesquieu dan Rousseau), dan di lain pihak menitik beratkan kepada asas hukum yang terbagi atas titik berat pada hukum acara pidana dengan maksud peraturan ditetapkan lebih dahulu agar individu mendapat perlindungan dan para penerap hukum terikat pada peraturan itu, dan yang paling terkenal adalah fokus yang menitik beratkan pada hukum pidana pidana materiel dengan maksud setiap pengertian perbuatan pidana dan pemidanaannya itu didasarkan pada undang-undang yang ada (Beccaria dan von Feurbach).
Menurut Hazewinkel-Suringa, pemikiran yang terkandung di dalam rumusan tersebut ditemukan juga dalam ajaran Montesquieu mengenai ajaran pemisahan kekuasaan, bukan hakim yang menyebutkan apa yang dapat dipidana, pembuat undang-undang menciptakan hukum. Pembuat undang-undang tidak saja menetapkan norma tetapi juga harus diumumkan sebagai norma-norma sebelumperbuatan. Manifestasi pertama kali di dalam Konstitusi Amerika pada tahun 1783 dan berikutnya dan kemudian di dalam Pasal 8 Declaration desdroits de l’homme et du citoyen tahun 1789.
Akhirnya muncul di dalam Pasal 4 Code Penal dan WvS Belanda yang kemudian turun ke KUHP Indonesia, dan KUHP Belgia pada Pasal 2. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, Asas Legalitas dalam KUHP Indonesia (yang berasal dari WvS. Ned.) ini sebenarnya merupakan peraturan yang tercantum dalam Declaration Des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789, yang berbunyi: ”Tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya”. Pandangan ini dibawa oleh Lafayette dari Amerika ke Perancis setelah ia membaca dan mempelajari Bill of Rights Virginia tahun 1776 (Bill of Rights = Piagam Hak Asasi Manusia). Dalam Bill of Rights hanya ditentukan, bahwa tidak ada orang yang boleh dituntut atau ditangkap selain dengan dan dalam peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam undang-undang. Jadi asas ini memberikan perlindungan terhadap tuntutan dan penangkapan sewenang-wenang. Asas ini berasal dari Habeas Corpus Act tahun 1679 (UU. Inggris yang menetapkan bahwa seseorang yang ditangkap harus diperiksa dalam waktu singkat), yang pada gilirannya berasal dari Pasal 39 Magna Charta tahun 1215, yang memberikan perlindungan terhadap penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum atau undang-undang (vogelvrij), selain dari jika dijatuhkan putusan pengadilan yang sah oleh “orang-orang yang sederajad” dari orang yang bebas dituntut itu. Diketahui dalam perjalanan sejarah bahwa Belanda pun yang menganut asas itu didalam KUHP, didalam situasi yang darurat, pernah meninggalkan asas itu, yaitu pada tanggal 22 Desember 1943 di London saat dikeluarkan Keputusan Luar Biasa tentang Hukum Pidana (S.d 61), mengenai beberapa delik terhadap keamanan Negara dan kemanusiaan diberlakukan ketentuan yang berlaku surut. Bahwa pidana mati yang tidak kenal di dalam KUHP Belanda dapat dikenakan sebagai hukum negara dalam keadaan darurat, sebagaimana kita kenal dengan istilah “abnormal recht voor abnormal tijden”., walaupun menurut Pasal 1 ayat (1) KUHP di Indonesia dianut asas legalitas, namun dahulu sewaktu masih adanya pengadilan Swapraja dan pengadilan adat, dimungkinkan oleh Undang-undang Nomor 1 Drt Tahun 1951 Pasal 5 ayat (3) nurit b, hakim menjatuhkan pidana penjara maksimum 3 (tiga) bulan dan/ atau denda paling banyak lima ratus rupiah bagi perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap delik yang belum ada padanannya di dalam KUHP.
Penerapan asas legalitas di dalam hukum indonesia. Dari uraian di atas dapat ditegaskan hal-hal penting yang merupakan dasar kelahiran asas legalitas sebagai bangunan fondasi hukum:


1). Asas legalitas sebgai sarana utama untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa dalam pemidanaan, maksudnya segala kewenangan penguasa harus berdasarkan peraturan perundang-undanganyang telah ditetapkan.
2). Sebagai sarana kepastiam hukum bagi rakyat, hal ini berarti asas legalitas dapat menjadi sarana mewujudkan keadilan dalam pemidanaan dalam satu segi.
3). Sebagai sarana pencegahan kejahatan.

Keberadaan asas legalitas khususnya formil/ hukum tertulis menyebabkan hukum pidana dan praktek penegakanya menjadi kaku. Karena tidak semua tindakan tercela selalu sudah ada aturan hukumnnya secara tertulis. Keberadaanya asas legalitas secara tidak langsung akan menyebabkan lenyapnya fakta social berupa eksistensi hukum pidana adat yang masih dijunjung tinggi di Indonesia ini. Keberadaanya akan menyuburkan faham individualitas yang berseberangan dengan paham kolektifitas Perlu dipahami untuk bisa membuktikan seseorang benar-benar telah melakukan suatu tindak pidana, pertama harus diperhatikan dahulu perbuatan orang tersebut memang sudah ada diatur dalam hukum yang menegaskan sebagai perbuatan tercela/terlarang.
Maksud dari ini adalah “hukum” sebagai dasar menilai perbuatan orang tersebut adalah adakalanya bisa berupa Hukum tertulis atau Undang-undang (berarti asas legalitas formil) tetapi juga berupa hukum tidak tertulis( asas legalitas material) kedua, fakta menunjukkan perbuatan orang tersebut memenuhi unsure tindak pidana sesuai dengan hukum. Namun yang perlu digarisbawahi yaitu pemahaman tentang wujud pengertian asas legalitas material, yang tidak kaku harus berdasarkan hukum yang tertulis saja.
Tampaknya sas legalitas materiel mengakui keberadaan hukum adat atau bahkan hukum yang tidak tertulis. Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan colonial Belanda, sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang.
Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru. Sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya. Sebagai peraturan peninggalan Belanda, asas legalitas kemudian menjadi problem dalam penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen. KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan bidang perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu. Tetapi, dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan pengadilan adat memungkinkan diterapkannya pidana adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) walaupun tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, asas legalitas dalam praktek di Indonesia tidak diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki Pasal 1 KUHP. Melalui asas legalitas, hukum pidana menghendaki aturan yang tertulis dan cermat. Sementara hukum yang hidup dalam masyarakat tidak tertulis. Pada dasarnya, munculnya terminologi hukum yang hidup dalam masyarakat dalam RUHP tidak lain adalah untuk menunjuk hukum selain hukum yang dibentuk oleh negara. Dengan demikian, secara kasat mata RKUHP ini seolah membuka peluang pluralisme hukum walaupun mekanisme penyelesaiannya tetap menggunakan peradilan pidana. asas legalitas dihadapkan dengan pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Di Indonesia, dapat dikatakan hukum yang tidak tertulis itu kebanyakan adalah hukum adat.
Dalam konteks RKUHP termasuk di situ maksudnya adalah delik adat, penyebutan delik adat atau perbuatan pidana adat adalah kurang tepat, melainkan pelanggaran adat. Oleh karena sebenarnya yang dimaksud adalah penyelewengan dari berbagai ketentuan hukum adat, berupa sikap tindak yang mengganggu kedamaian hidup yang juga mencakup lingkup laku kebiasaan-kebiasaan yang hidup berupa kepatutan dalam masyarakat. Delik adat atau pelanggaran adat berasal dari istilah Belanda adat delicten recht. Istilah ini tidak dikenal dalam berbagai masyarakat adat di Indonesia. Lagi pula, hukum adat tidak membedakan antara hukum pidana dan hukum adat. Hukum pelanggaran adat dimaknai sebagai aturan-aturan hukum adat yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan masyarakat, sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan masyarakat tidak terganggu. Di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dipakai kata-kata “perundang-undangan pidana” bukan undang-undang pidana, ini berarti bukan undang-undang dalam arti formal saja, tetapi juga meliputi semua ketentuan yang secara materiel merupakan undang-undang seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah dan lain-lain peraturan yang memiliki perumusan delik dan ancaman pidana, baik yang masuk dalam lingkup Hukum Perdata maupun Hukum Administrasi (Civil Penal Law dan Administrative Penal Law). Perlu pula untuk dikemukakan mengenai adanya pemdapat para pengarang yang pro dan kontra terhadap eksistensi asas legalitas tersebut di dalam KUHP Indonesia. Kontroversi menjadi sering mencuat dipermukaan tentang berbagai masalah tersebut. Beberapa pendapat keberatan dianutnya asas tersebut di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig) tidak dipidana karena adanya asas tersebut. Begitu pula asas tersebut menghalangi berlakunya hukum pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu tentang hukum adat yang masih hidup. Kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu. Lagipula sebagai Negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu ditinggalkan. Pengungkapan media yang berlebihan akan menibngkatkan tekanan publik yang demikian besar. Sehingga beban kemasyarakatan dan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat akibat perubahan dan perkembangan masyarakat dewasa ini khususnya di bidang hukum dan keadilan, perlu diimbangi dengan sikap tanggap untuk lebih memantapkan prinsip “kembali pada hukum, keadilan dan kemanusiaan”  secara proposional.

dari berbagai sumber